http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.04.03.01471234&channel=2&mn=154&idx=154
Jakarta, Kompas - Tingginya harga beras pada musim panen raya kali ini akan menjadi bom waktu bagi stabilitas sosial, ekonomi, dan politik bangsa. Karena itu, pemerintah harus menyiapkan langkah antisipasi.
Demikian rangkuman pendapat yang disampaikan Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Rudi Wibowo, pengamat masalah pertanian dari Universitas Gadjah Mada M Maksum, dan guru besar Fakultas Pertanian Universitas Satya Wacana Sony Heru Priyanto, Rabu (2/4) di Jember, Yogyakarta, dan Salatiga.
”Prioritas yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah membuka luas kesempatan kerja dan meningkatkan daya beli masyarakat,” kata Rudi.
Selama ini pemerintah salah mengambil kebijakan guna mencari solusi terhadap ancaman kenaikan harga pangan dengan memberikan berbagai subsidi.
Maksum mengatakan, tingginya harga beras saat ini amat dipengaruhi kenaikan harga beras dunia. ”Ini sebuah konsekuensi logis dari open market,” katanya.
Masalah serius negara ini karena gagal memberantas kemiskinan sehingga daya beli masyarakat sangat rendah. ”Kita telah terjebak dengan prinsip yang dibangun negara, yakni romantisisme beras murah. Pemerintah memberantas kemiskinan dengan memurah-murahkan harga beras,” kata Maksum.
”Orientasi negara soal pangan selama ini salah arah, bukan meningkatkan daya beli orang miskin, tapi memaksa harga pangan murah agar terjangkau,” katanya.
Menurut Rudi, peningkatan daya beli bisa dilakukan dengan menggenjot pembangunan infrastruktur publik di pedesaan dengan melibatkan sebanyak mungkin orang untuk bekerja. Cara ini akan efektif mendongkrak pendapatan masyarakat dari pada memberikan subsidi.
Dengan harga beras kualitas medium di tingkat grosir yang saat ini Rp 4.300 per kg, harga di tingkat konsumen bisa mencapai Rp 4.600 per kg.
Mengacu asumsi bahwa disparitas harga beras saat panen raya dan musim paceklik Rp 1.300-Rp 1.600 per kg, harga beras pada musim paceklik 2008/2009 di tingkat konsumen bisa di atas Rp 6.000.
Sementara itu, Deputi Menteri Koordinator Perekonomian Bidang Pertanian dan Kelautan Bayu Krisnamurthi mengatakan, pemerintah terus mengkaji kemungkinan naiknya harga pembelian pemerintah untuk gabah dan beras. ”Belum ada keputusan final,” katanya.
Zonasi perdagangan
Sony Heru Priyanto mengatakan, Indonesia mulai mengalami kegagalan pasar beras yang ditandai dengan tingginya disparitas harga antara gabah dan beras maupun asimetri informasi antara petani dan pedagang.
Menurut Sony, pemerintah melalui Bulog harus bisa memainkan peranan dengan membuat zonasi perdagangan beras sehingga bisa menekan biaya transaksi dan transportasi.
Dalam kunjungan di beberapa sentra beras di Jateng, Sony menemukan selisih harga yang sangat jauh. Gabah kering panen dari petani ada yang dijual seharga Rp 1.400, padahal harga beras di pasaran bisa menembus Rp 5.000 per kilogram.
Selisih harga yang bisa berkali lipat ini, kata Sony, bukan disebabkan biaya produksi, tetapi didominasi oleh biaya distribusi. Beras dari Jawa Tengah bisa berpindah beberapa kali ke Jawa Timur, bahkan hingga Kalimantan. Begitu pula beras dari Jatim bisa berpindah lokasi beberapa kali. Ini membuat biaya transportasi menjadi lebih tinggi, ditambah lagi setiap kali transaksi ada pertambahan harga karena setiap pedagang ambil untung.
”Ini tidak efisien karena perputaran beras bisa sampai tiga kali. Bulog bisa memainkan peranan dengan membuat zonasi perdagangan di sentra-sentra pertanian. Beras dari satu sentra didistribusikan ke wilayah yang minus beras yang berada di dekatnya,” kata Sony.
Dinikmati pedagang
Harga beras yang cukup tinggi pada musim panen raya saat ini lebih banyak dinikmati pedagang grosir. Sebaliknya, harga gabah di tingkat petani justru melemah, seperti lazim terjadi ketika memasuki musim panen raya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, harga rata-rata semua kualitas gabah di tingkat petani turun. Harga gabah kering giling (GKG) pada Maret 2008 turun sebesar 6,28 persen dibandingkan Februari 2008. Harga rata-rata GKG di tingkat petani sebesar Rp 2.624 per kg, sedangkan di tingkat penggilingan sebesar Rp 2.713 per kg.
Untuk kualitas gabah kering panen (GKP) pada Maret 2008, penurunan harga terjadi sebesar 15,31 persen dibandingkan harga Februari 2007.
Harga rata-rata GKP di tingkat petani sebesar Rp 2.149 per kg, sementara harga GKP di tingkat penggilingan Rp 2.202 per kg. Harga rata-rata kualitas GKG dan GKP selama Maret lalu ini masih di atas harga pembelian pemerintah sebesar Rp 2.575 per kg untuk GKG dan Rp 2.035 per kg untuk GKP di penggilingan.
Namun, pengamatan BPS menunjukkan, transaksi harga gabah di tingkat penggilingan yang berada di bawah harga pembelian pemerintah naik tajam pada Maret 2008 karena pengaruh musim panen raya. (MDN/EGI/ITA/GAL/MAS/DAY)