Pupuk Organic Cair superMAX

Pupuk Organic Cair superMAX
1 Liter untuk 1 Hektar lahan.

02 April 2008

Harga Beras Tinggi Jadi Bom Waktu

Ketahanan Pangan
Harga Beras Tinggi Jadi Bom Waktu
Kamis, 3 April 2008 | 01:47 WIB

http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.04.03.01471234&channel=2&mn=154&idx=154

Jakarta, Kompas - Tingginya harga beras pada musim panen raya kali ini akan menjadi bom waktu bagi stabilitas sosial, ekonomi, dan politik bangsa. Karena itu, pemerintah harus menyiapkan langkah antisipasi.

Demikian rangkuman pendapat yang disampaikan Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Rudi Wibowo, pengamat masalah pertanian dari Universitas Gadjah Mada M Maksum, dan guru besar Fakultas Pertanian Universitas Satya Wacana Sony Heru Priyanto, Rabu (2/4) di Jember, Yogyakarta, dan Salatiga.

”Prioritas yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah membuka luas kesempatan kerja dan meningkatkan daya beli masyarakat,” kata Rudi.

Selama ini pemerintah salah mengambil kebijakan guna mencari solusi terhadap ancaman kenaikan harga pangan dengan memberikan berbagai subsidi.

Maksum mengatakan, tingginya harga beras saat ini amat dipengaruhi kenaikan harga beras dunia. ”Ini sebuah konsekuensi logis dari open market,” katanya.

Masalah serius negara ini karena gagal memberantas kemiskinan sehingga daya beli masyarakat sangat rendah. ”Kita telah terjebak dengan prinsip yang dibangun negara, yakni romantisisme beras murah. Pemerintah memberantas kemiskinan dengan memurah-murahkan harga beras,” kata Maksum.

”Orientasi negara soal pangan selama ini salah arah, bukan meningkatkan daya beli orang miskin, tapi memaksa harga pangan murah agar terjangkau,” katanya.

Menurut Rudi, peningkatan daya beli bisa dilakukan dengan menggenjot pembangunan infrastruktur publik di pedesaan dengan melibatkan sebanyak mungkin orang untuk bekerja. Cara ini akan efektif mendongkrak pendapatan masyarakat dari pada memberikan subsidi.

Dengan harga beras kualitas medium di tingkat grosir yang saat ini Rp 4.300 per kg, harga di tingkat konsumen bisa mencapai Rp 4.600 per kg.

Mengacu asumsi bahwa disparitas harga beras saat panen raya dan musim paceklik Rp 1.300-Rp 1.600 per kg, harga beras pada musim paceklik 2008/2009 di tingkat konsumen bisa di atas Rp 6.000.

Sementara itu, Deputi Menteri Koordinator Perekonomian Bidang Pertanian dan Kelautan Bayu Krisnamurthi mengatakan, pemerintah terus mengkaji kemungkinan naiknya harga pembelian pemerintah untuk gabah dan beras. ”Belum ada keputusan final,” katanya.

Zonasi perdagangan

Sony Heru Priyanto mengatakan, Indonesia mulai mengalami kegagalan pasar beras yang ditandai dengan tingginya disparitas harga antara gabah dan beras maupun asimetri informasi antara petani dan pedagang.

Menurut Sony, pemerintah melalui Bulog harus bisa memainkan peranan dengan membuat zonasi perdagangan beras sehingga bisa menekan biaya transaksi dan transportasi.

Dalam kunjungan di beberapa sentra beras di Jateng, Sony menemukan selisih harga yang sangat jauh. Gabah kering panen dari petani ada yang dijual seharga Rp 1.400, padahal harga beras di pasaran bisa menembus Rp 5.000 per kilogram.

Selisih harga yang bisa berkali lipat ini, kata Sony, bukan disebabkan biaya produksi, tetapi didominasi oleh biaya distribusi. Beras dari Jawa Tengah bisa berpindah beberapa kali ke Jawa Timur, bahkan hingga Kalimantan. Begitu pula beras dari Jatim bisa berpindah lokasi beberapa kali. Ini membuat biaya transportasi menjadi lebih tinggi, ditambah lagi setiap kali transaksi ada pertambahan harga karena setiap pedagang ambil untung.

”Ini tidak efisien karena perputaran beras bisa sampai tiga kali. Bulog bisa memainkan peranan dengan membuat zonasi perdagangan di sentra-sentra pertanian. Beras dari satu sentra didistribusikan ke wilayah yang minus beras yang berada di dekatnya,” kata Sony.

Dinikmati pedagang

Harga beras yang cukup tinggi pada musim panen raya saat ini lebih banyak dinikmati pedagang grosir. Sebaliknya, harga gabah di tingkat petani justru melemah, seperti lazim terjadi ketika memasuki musim panen raya.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, harga rata-rata semua kualitas gabah di tingkat petani turun. Harga gabah kering giling (GKG) pada Maret 2008 turun sebesar 6,28 persen dibandingkan Februari 2008. Harga rata-rata GKG di tingkat petani sebesar Rp 2.624 per kg, sedangkan di tingkat penggilingan sebesar Rp 2.713 per kg.

Untuk kualitas gabah kering panen (GKP) pada Maret 2008, penurunan harga terjadi sebesar 15,31 persen dibandingkan harga Februari 2007.

Harga rata-rata GKP di tingkat petani sebesar Rp 2.149 per kg, sementara harga GKP di tingkat penggilingan Rp 2.202 per kg. Harga rata-rata kualitas GKG dan GKP selama Maret lalu ini masih di atas harga pembelian pemerintah sebesar Rp 2.575 per kg untuk GKG dan Rp 2.035 per kg untuk GKP di penggilingan.

Namun, pengamatan BPS menunjukkan, transaksi harga gabah di tingkat penggilingan yang berada di bawah harga pembelian pemerintah naik tajam pada Maret 2008 karena pengaruh musim panen raya. (MDN/EGI/ITA/GAL/MAS/DAY)

Krisis Pangan, Konglomerat Ikut Bercocok Tanam

Cover GATRA Edisi 21/2008 (GATRA/Tim Desain)http://www.gatra.com/artikel.php?id=113575

Harga komoditas pangan dunia kian melangit, naik antara 75% dan 200%. Banyak pihak mengkhawatirkan krisis pangan menjelma menjadi krisis global terbesar abad ke-21. Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) mengabarkan, krisis pangan akan menimpa 36 negara di dunia, termasuk Indonesia. Meski dicap sebagai negeri agraris, Indonesia sama sekali tidak menikmati lonjakan harga komoditas pangan dunia. Yang terjadi justru rakyat negeri ini makin tertekan.

Maklum, sebagian besar petani Indonesia memiliki lahan kurang dari 0,25 hektare (rata-rata nasional 0,36 hektare, dengan jumlah petani 48% dari total penduduk). Proporsi terbesar, antara lain, adalah buruh tani yang tidak berlahan. Kelompok petani berlahan sempit dan buruh tani itu justru akan menderita, karena sekitar 60% pendapatan mereka dibelanjakan untuk pangan.

Harga gabah di Tanah Air justru jeblok pada saat panen raya. Bila semula bisa mencapai Rp 2.800 per kilogram, kini berada di kisaran Rp 1.800-Rp 1.900 per kilo. Karena itu, tim pasca-panen juga melakukan sosialisasi bahwa pemkab siap memborong dan menampung gabah petani dengan harga sesuai patokan pemerintah. Juga memberikan saran agar petani menjual dalam bentuk gabah.

Ketika harga beras di dunia sedang melangit, harga gabah di sentra-sentra penghasil padi di Indonesia malah anjlok. Seperti diberitakan di media seluruh jagat, stok beras dunia akan mencapai titik terendah, sehingga mendorong harga mencapai level tertinggi selama 20 tahun terakhir.

Kepincut oleh prospek komoditas pangan dunia yang kian mahal, para konglomerat pun ikut rajin bercocok tanam. Salim Group, misalnya, berancang-ancang melakukan ekspansi ke sektor perkebunan tebu di Nusa Tenggara Barat. Setelah mengeduk untung di bisnis sawit penghasil CPO, Salim berniat menanam duit di lahan tebu. Rencananya, konglomerasi yang dinakhodai Anthony Salim itu mendirikan pabrik gula dan membuka perkebunan tebu seluas 120.000 hektare di lahan berstatus area peruntukan lain.

Tak hanya Salim Group yang mengepakkan sayap di bisnis agro. Kelompok perusahaan besar seperti Grup Bakrie, Medco, dan Wilmar juga menjajaki industri pemanis itu. Tiga konglomerat papan atas itu berniat mengembangkan perkebunan tebu yang terintegrasi dengan pabrik gula dan etanol di Merauke, Papua. Diperkirakan, total investasinya di lahan seluas 300.000 hektare itu mencapai Rp 9 trilyun.

Berbeda dari Grup Bakrie dan Wilmar yang sudah lama bermain di sektor agrobisnis, Medco terbilang pendatang baru. Sekretaris Medco Holding, Widjajanto, mengungkap bahwa pihaknya berniat menanam tebu untuk bahan baku bioetanol pengganti bensin. Jadi, masih terkait dengan bisnis inti Medco di bidang energi. Hanya saja, kini mereka berniat masuk lebih dalam ke bagian hulu. "Medco sebenarnya sudah mengembangkan bioetanol berbahan baku tebu dan singkong dengan produksi 1.200 barel per hari di Lampung," ungkap Widjajanto.

Sebelumnya, Arifin Panigoro selaku pemilik Medco mengungkapkan, Medco Energy International akan bekerja sama dengan PT Petrogas, Brasil, untuk ekspansi bioetanol tebu dan singkong. Total dana yang disiapkan guna membangun pabrik dan perkebunan pemasok bahan bakunya mencapai US$ 350 juta.

Dirjen Perkebunan, Departemen Pertanian (Deptan), Achmad Manggabarani mengungkap, selain ketiga konglomerat itu, banyak pengusaha lokal yang bernafsu ikut menanam tebu di sejumlah daerah. Industrialisasi pertanian makin menguntungkan pemilik modal.

Heru Pamuji, Arif Koeshernawan (Yogyakarta), dan M. Nur Cholish Zaein (Surabaya)
[Laporan Utama, Gatra Nomor 21 Beredar Kamis, 3 April 2008]