Pupuk Organic Cair superMAX

Pupuk Organic Cair superMAX
1 Liter untuk 1 Hektar lahan.

02 April 2008

Harga Beras Tinggi Jadi Bom Waktu

Ketahanan Pangan
Harga Beras Tinggi Jadi Bom Waktu
Kamis, 3 April 2008 | 01:47 WIB

http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.04.03.01471234&channel=2&mn=154&idx=154

Jakarta, Kompas - Tingginya harga beras pada musim panen raya kali ini akan menjadi bom waktu bagi stabilitas sosial, ekonomi, dan politik bangsa. Karena itu, pemerintah harus menyiapkan langkah antisipasi.

Demikian rangkuman pendapat yang disampaikan Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Rudi Wibowo, pengamat masalah pertanian dari Universitas Gadjah Mada M Maksum, dan guru besar Fakultas Pertanian Universitas Satya Wacana Sony Heru Priyanto, Rabu (2/4) di Jember, Yogyakarta, dan Salatiga.

”Prioritas yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah membuka luas kesempatan kerja dan meningkatkan daya beli masyarakat,” kata Rudi.

Selama ini pemerintah salah mengambil kebijakan guna mencari solusi terhadap ancaman kenaikan harga pangan dengan memberikan berbagai subsidi.

Maksum mengatakan, tingginya harga beras saat ini amat dipengaruhi kenaikan harga beras dunia. ”Ini sebuah konsekuensi logis dari open market,” katanya.

Masalah serius negara ini karena gagal memberantas kemiskinan sehingga daya beli masyarakat sangat rendah. ”Kita telah terjebak dengan prinsip yang dibangun negara, yakni romantisisme beras murah. Pemerintah memberantas kemiskinan dengan memurah-murahkan harga beras,” kata Maksum.

”Orientasi negara soal pangan selama ini salah arah, bukan meningkatkan daya beli orang miskin, tapi memaksa harga pangan murah agar terjangkau,” katanya.

Menurut Rudi, peningkatan daya beli bisa dilakukan dengan menggenjot pembangunan infrastruktur publik di pedesaan dengan melibatkan sebanyak mungkin orang untuk bekerja. Cara ini akan efektif mendongkrak pendapatan masyarakat dari pada memberikan subsidi.

Dengan harga beras kualitas medium di tingkat grosir yang saat ini Rp 4.300 per kg, harga di tingkat konsumen bisa mencapai Rp 4.600 per kg.

Mengacu asumsi bahwa disparitas harga beras saat panen raya dan musim paceklik Rp 1.300-Rp 1.600 per kg, harga beras pada musim paceklik 2008/2009 di tingkat konsumen bisa di atas Rp 6.000.

Sementara itu, Deputi Menteri Koordinator Perekonomian Bidang Pertanian dan Kelautan Bayu Krisnamurthi mengatakan, pemerintah terus mengkaji kemungkinan naiknya harga pembelian pemerintah untuk gabah dan beras. ”Belum ada keputusan final,” katanya.

Zonasi perdagangan

Sony Heru Priyanto mengatakan, Indonesia mulai mengalami kegagalan pasar beras yang ditandai dengan tingginya disparitas harga antara gabah dan beras maupun asimetri informasi antara petani dan pedagang.

Menurut Sony, pemerintah melalui Bulog harus bisa memainkan peranan dengan membuat zonasi perdagangan beras sehingga bisa menekan biaya transaksi dan transportasi.

Dalam kunjungan di beberapa sentra beras di Jateng, Sony menemukan selisih harga yang sangat jauh. Gabah kering panen dari petani ada yang dijual seharga Rp 1.400, padahal harga beras di pasaran bisa menembus Rp 5.000 per kilogram.

Selisih harga yang bisa berkali lipat ini, kata Sony, bukan disebabkan biaya produksi, tetapi didominasi oleh biaya distribusi. Beras dari Jawa Tengah bisa berpindah beberapa kali ke Jawa Timur, bahkan hingga Kalimantan. Begitu pula beras dari Jatim bisa berpindah lokasi beberapa kali. Ini membuat biaya transportasi menjadi lebih tinggi, ditambah lagi setiap kali transaksi ada pertambahan harga karena setiap pedagang ambil untung.

”Ini tidak efisien karena perputaran beras bisa sampai tiga kali. Bulog bisa memainkan peranan dengan membuat zonasi perdagangan di sentra-sentra pertanian. Beras dari satu sentra didistribusikan ke wilayah yang minus beras yang berada di dekatnya,” kata Sony.

Dinikmati pedagang

Harga beras yang cukup tinggi pada musim panen raya saat ini lebih banyak dinikmati pedagang grosir. Sebaliknya, harga gabah di tingkat petani justru melemah, seperti lazim terjadi ketika memasuki musim panen raya.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, harga rata-rata semua kualitas gabah di tingkat petani turun. Harga gabah kering giling (GKG) pada Maret 2008 turun sebesar 6,28 persen dibandingkan Februari 2008. Harga rata-rata GKG di tingkat petani sebesar Rp 2.624 per kg, sedangkan di tingkat penggilingan sebesar Rp 2.713 per kg.

Untuk kualitas gabah kering panen (GKP) pada Maret 2008, penurunan harga terjadi sebesar 15,31 persen dibandingkan harga Februari 2007.

Harga rata-rata GKP di tingkat petani sebesar Rp 2.149 per kg, sementara harga GKP di tingkat penggilingan Rp 2.202 per kg. Harga rata-rata kualitas GKG dan GKP selama Maret lalu ini masih di atas harga pembelian pemerintah sebesar Rp 2.575 per kg untuk GKG dan Rp 2.035 per kg untuk GKP di penggilingan.

Namun, pengamatan BPS menunjukkan, transaksi harga gabah di tingkat penggilingan yang berada di bawah harga pembelian pemerintah naik tajam pada Maret 2008 karena pengaruh musim panen raya. (MDN/EGI/ITA/GAL/MAS/DAY)

Krisis Pangan, Konglomerat Ikut Bercocok Tanam

Cover GATRA Edisi 21/2008 (GATRA/Tim Desain)http://www.gatra.com/artikel.php?id=113575

Harga komoditas pangan dunia kian melangit, naik antara 75% dan 200%. Banyak pihak mengkhawatirkan krisis pangan menjelma menjadi krisis global terbesar abad ke-21. Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) mengabarkan, krisis pangan akan menimpa 36 negara di dunia, termasuk Indonesia. Meski dicap sebagai negeri agraris, Indonesia sama sekali tidak menikmati lonjakan harga komoditas pangan dunia. Yang terjadi justru rakyat negeri ini makin tertekan.

Maklum, sebagian besar petani Indonesia memiliki lahan kurang dari 0,25 hektare (rata-rata nasional 0,36 hektare, dengan jumlah petani 48% dari total penduduk). Proporsi terbesar, antara lain, adalah buruh tani yang tidak berlahan. Kelompok petani berlahan sempit dan buruh tani itu justru akan menderita, karena sekitar 60% pendapatan mereka dibelanjakan untuk pangan.

Harga gabah di Tanah Air justru jeblok pada saat panen raya. Bila semula bisa mencapai Rp 2.800 per kilogram, kini berada di kisaran Rp 1.800-Rp 1.900 per kilo. Karena itu, tim pasca-panen juga melakukan sosialisasi bahwa pemkab siap memborong dan menampung gabah petani dengan harga sesuai patokan pemerintah. Juga memberikan saran agar petani menjual dalam bentuk gabah.

Ketika harga beras di dunia sedang melangit, harga gabah di sentra-sentra penghasil padi di Indonesia malah anjlok. Seperti diberitakan di media seluruh jagat, stok beras dunia akan mencapai titik terendah, sehingga mendorong harga mencapai level tertinggi selama 20 tahun terakhir.

Kepincut oleh prospek komoditas pangan dunia yang kian mahal, para konglomerat pun ikut rajin bercocok tanam. Salim Group, misalnya, berancang-ancang melakukan ekspansi ke sektor perkebunan tebu di Nusa Tenggara Barat. Setelah mengeduk untung di bisnis sawit penghasil CPO, Salim berniat menanam duit di lahan tebu. Rencananya, konglomerasi yang dinakhodai Anthony Salim itu mendirikan pabrik gula dan membuka perkebunan tebu seluas 120.000 hektare di lahan berstatus area peruntukan lain.

Tak hanya Salim Group yang mengepakkan sayap di bisnis agro. Kelompok perusahaan besar seperti Grup Bakrie, Medco, dan Wilmar juga menjajaki industri pemanis itu. Tiga konglomerat papan atas itu berniat mengembangkan perkebunan tebu yang terintegrasi dengan pabrik gula dan etanol di Merauke, Papua. Diperkirakan, total investasinya di lahan seluas 300.000 hektare itu mencapai Rp 9 trilyun.

Berbeda dari Grup Bakrie dan Wilmar yang sudah lama bermain di sektor agrobisnis, Medco terbilang pendatang baru. Sekretaris Medco Holding, Widjajanto, mengungkap bahwa pihaknya berniat menanam tebu untuk bahan baku bioetanol pengganti bensin. Jadi, masih terkait dengan bisnis inti Medco di bidang energi. Hanya saja, kini mereka berniat masuk lebih dalam ke bagian hulu. "Medco sebenarnya sudah mengembangkan bioetanol berbahan baku tebu dan singkong dengan produksi 1.200 barel per hari di Lampung," ungkap Widjajanto.

Sebelumnya, Arifin Panigoro selaku pemilik Medco mengungkapkan, Medco Energy International akan bekerja sama dengan PT Petrogas, Brasil, untuk ekspansi bioetanol tebu dan singkong. Total dana yang disiapkan guna membangun pabrik dan perkebunan pemasok bahan bakunya mencapai US$ 350 juta.

Dirjen Perkebunan, Departemen Pertanian (Deptan), Achmad Manggabarani mengungkap, selain ketiga konglomerat itu, banyak pengusaha lokal yang bernafsu ikut menanam tebu di sejumlah daerah. Industrialisasi pertanian makin menguntungkan pemilik modal.

Heru Pamuji, Arif Koeshernawan (Yogyakarta), dan M. Nur Cholish Zaein (Surabaya)
[Laporan Utama, Gatra Nomor 21 Beredar Kamis, 3 April 2008]

27 February 2008

Pupuk Organic Cair superMAX

Awalnya saya diajak kawan, bicara tentang petani Indonesia yang ( klise : tapi nyata!! ) memprihatinkan........jadi sapi perahan tengkulak, dilupakan oleh Pemerintah!!

Kemudian akhir akhir ini beberapa kali saya diajak keliling Jogjakarta-Kedu-Surakarta untuk ketemu dengan kelompok-kelompok tani.
Lama-lama saya ketagihan, apalagi waktu saya cukup luang dimalam hari....daripada terbuang percuma, mendingan BELAJAR BERSAMA petani, betul???!

Sejauh ini yang saya coba lakukan adalah mengajak petani dan orang2 pemilik lahan dipedesaan untuk berhitung ( secara harfiah ) tentang modal bertani dibanding hasil produksinya, karena selama ini sebagian besar mereka menjalankan Proses bercocok tanam hanya sekedar rutinitas turun temurun tanpa manajemen profesional, tanpa memiliki data yang seharusnya mereka dokumentasikan.

Pengalaman saya, mayoritas petani tak tahu apakah hasil panen mereka musim ini setelah dikurangi biaya produksi, meningkat atau turun dibanding musim lalu, dan mayoritas tidak memiliki data tentang modal/ pengeluaran untuk pupuk dll.

Saya juga berusaha mencari info, kira2 pupuk apa yang terbaik untuk petani, dilihat dari harga dan kwalitas....dengan maksud agar petani memperoleh nilai ekonomi optimal dari pekerjaan mereka.
Banyak petani yang sempat terpukau oleh beberapa pupuk organic yang merupakan suplemen bagi tanaman, seperti NUTRI GROW, kemudian beralih ke NOS, dan terakhir sama Nutrisi Saputra, sebelum akhirnya melirik produk superMAX.

Pupuk pupuk diatas saya pelajari dan saya banding-bandingkan secara ekonomi maupun kwalitas, dan saat ini saya juga sedang dalam pencarian data sebuah pupuk organic yang katanya memiliki hasil ajaib disejumlah daerah sesuai sejumlah kesaksian para petani......

Tentang pupuk Organik Cair superMAX ini, saya punya catatan khusus berdasar input para petani.

Dengan klaim wajar, sebagai pupuk Suplemen, bukan pupuk tunggal, pemakaian superMAX berhasil meningkatkan hasil panen Padi lebih dari 2 Ton perhektarnya, tergantung kondisi tanahnya.
Dalam prosentase, penggunaan Pupuk Cair Organic superMAX bisa meningkatkan hasil panen antara 40% hingga 100% dibanding sebelum menggunakan pupuk superMAX .
Pemakaian pupuk superMAX juga bisa mengurangi pemakaian pupuk Kimia secara bertahap, 5-10% per masa panen, hingga akhirnya cukup 50% pemakaian pupuk Kimianya setelah 5 - 6 masa panen pertama memakai pupuk organik cair superMAX.

Pupuk Cair Organik superMAX dengan kemasan 1liter bisa digunakan untuk 1 kali penyemprotan Padi seluas 1 Hektar, dan selama musim tanam cukup disemprot 3 kali atau 3 botol superMAX 1 liter.

Kelebihan superMAX ini, antara lain:
1. Irit dan praktis ( cukup mencampur 10cc / 1 tutup botol kecil dengan 7Ltr air ) setara dengan 2 tutup botol pertangki, sehingga 1 Liter superMAX bisa untuk 50 tangki lebih.
2. Pupuk ini tanpa Masa Kadaluarsa......jika sisa pada masa tanam sekarang, bisa digunakan untuk masa tanam berikutnya, dan yang terpenting adalah
3. BERGARANSI.
4. Bisa digunakan untuk Tanaman Pangan, Sayuran, Kebun, serta tanaman Hias.

Harga perliter pupuk organic cair superMAX adalah Rp 350.000,-
Namun karena adanya subsidi dari seorang pengusaha yang sangat perhatian terhadap petani, maka harga ke petani adalah Rp 85.000,-
Setiap Liternya, pupuk cair organic superMAX bisa digunakan untuk 50 - 100 tangki( sesuai jenis tanaman ), sehingga Ongkos produksi per-tangki HANYA Rp 1700,-,
Pupuk lain gak ada yang ongkos produksinya per-tangki kurang dari Rp 7.000,-

Pupuk ini tidak dijual bebas ditoko-toko pertanian karena bersubsidi lebih dari Rp 250.000,-/botol.

Pupuk Cair Organik superMAX juga bergaransi sebagai Jaminan akan Kwalitas Produk tersebut, dimana apabila pemakaian pupuk superMAX tidak menghasilkan panen yang meningkat dibading sebelum menggunakan superMAX maka uang akan dikembalikan!!
Dengan tidak dijual langsung lewat toko pertanian, para petani diharapkan bisa mengenal produsen, mengetahui alamat Jelas sang penjual pupuk untuk menjamin kepercayaan petani, sekaligus untuk menekan harga agar sampai ketangan petani dengan harga BERSUBSIDI.

Pupuk ini sesungguhnya hanya bernama MAX, sedangkan kata "super" yang ada pada kemasannya adalah HADIAH dari petani-petani yang telah membuktikan manfaatnya.

Makna Belajar Bersama yang menjadi Trade Mark pupuk ini, adalah setiap hari sebisa mungkin team konsultan pupuk superMAX keliling bukan hanya bermodal brosur, namun membawa peralatan berupa Laptop, Screen, LCD Projector, dan sebagainya yang berharga puluhan juta rupiah, mengunjungi kelompok kelompok petani yang didaerah Yogyakarta dan Jawa Tengah ( mereka kebanyakan punya jadwal pertemuan selapanan / 35 hari sekali), dimana dalam setiap pertemuan dengan para petani, team konsultan superMAX mengajak mereka MENGHITUNG!!
Bertani sayuran atau Padi atau tanaman lain, mari selalu BERHITUNG!!

Jika anda berminat membicarakan lebih lanjut tentang Pupuk Cair Organik superMAX ini, silahkan hubungi alamat dibawah ini :

PT. CITRA SALIMAS KENCANA
JL. SABIRIN 17
JOGJAKARTA - 55224
TELP ( 0274 ) 580597, 7193000
FAX ( 0274 ) 580597
JOGJAKARTA - 55224

Nasib Petani Tergantung Pupuk


Kamis, 28 Februari 2008
M HUSNI NANANG

INILAH.COM, Jakarta - Memasuki musim tanam Maret 2008, pertanian dibayangi kelangkaan pupuk. Tak hanya susah dicari, harga pupuk juga melambung. Tentu hal ini sangat ironis dengan target pemerintah untuk meningkatkan produksi padi dan mengurangi impor beras tinggal 5% di 2008.

Kelangkaan pupuk tejadi di kawasan Pantai Utara (Pantura) Kabupaten Tangerang, Banten diiringi dengan kenaikan harga hingga 20%. Selain itu, di ujung timur pulau Jawa, Banyuwangi bahkan sempat terjadi demonstrasi petani akibat distribusi pupuk berkurang hingga 50%.

Ketua Umum Dewan Tani Indonesia Ferry J Juliantono kepada INILAH.COM di Jakarta, Rabu (27/02) mengatakan, kelangkaan terutama pada pupuk yang menggunakan bahan baku gas seperti SP-36 dan KCL.

“Distributor memang kurang pasokan, sementara petani belum mendapatkan pupuk alternatif,” ujarnya. Menurut Ferry, petani saat ini harus berupaya untuk mencari pupuk alternatif seperti Phonska.

Meski begitu harga pupuk Phonska terus meningkat, dari yang sebelumnya seharga Rp 1.750 per kilogram menjadi Rp 2.200-2.500 per kg. “Itupun jumlahnya terbatas karena hanya Petrokimia Gresik saja yang memproduksinya,” jelasnya.

Sulit dan mahalnya pupuk di lapangan menimbulkan kekhawatiran karena bisa menurunkan kualitas produksi padi. “Secara akumulatif tentu akan mempengaruhi produksi padi nasional,” tandasnya. Ferry menambahkan, kelangkaan pupuk di awal musim tanam selalu terjadi berulang karena kesalahan kebijakan pemerintah.

Dirjen Tanaman Pangan Depertemen Pertanian, Soetarto Alimoeso, ketika dihubungi terpisah mengatakan, pada Januari memang terjadi kelangkaan pupuk. Hal itu dikarenakan kerusakan di pabrik Pupuk Kujang Cikampek (PKC) dalam beberapa hari. Selain itu juga karena faktor cuaca.

Namun, saat ini pasokan telah aman karena kebutuhan telah dipenuhi dari pasokan pabrik Pupuk Kimia Gresik, Pupuk Kalimantan Timur, dan Pupuk Sriwijaya. “Secara nasional, pasokan pupuk cukup. Pabrik PKC juga meningkatkan produksinya setelah mendapat suplai gas,” paparnya.

Kelangkaan pupuk di Indonesia sebenarnya tidak perlu terjadi bila dalam penggunaan dan distribusi sesuai dengan kebutuhan petani. Semisal lebih banyak menggunakan komposisi pupuk urea, karena produksi di Tanah Air mengalami surplus. Bahkan tak hanya mencukupi pasokan dalam negeri, pupuk urea juga diekspor.

Seluruh BUMN pupuk, antara lain PT Pupuk Sriwijaya, PT Petrokimia Gresik, PT ASEAN Aceh Fertilizer, PT Pupuk Kaltim, PT Pupuk Kujang saat ini mampu memproduksi pupuk jenis urea hingga enam juta ton.

Namun, kelangkaan pupuk kadang terjadi pada jenis SP-36 yang bahan bakunya masih tergantung dari luar negeri. Kelangkaan juga sering terdorong kebiasaan pemakaian pupuk di kalangan petani yang cenderung berlebihan.

“Misalnya untuk SP-36 yang seharusnya cukup dengan satu kuintal per hektar, banyak yang menggunakan hingga dua kuintal,” ujar Ketua Umum Asosiasi Niaga Pupuk Indonesia (ANPI) Johan Unggul ketika dihubungi secara terpisah.

Hal ini, lanjut Johan, akan menimbulkan kelangkaan pupuk jenis SP-36 karena permintaan lebih tinggi dari pasokan. Selain itu, faktor pemberlakuan Permendag No 14/2007 dan Standard Nasional Indonesia (SNI) Wajib Pupuk ikut mendorong ekonomi biaya tinggi.

“Prosedur impor menjadi tidak kondusif dan menyebabkan eksportir di luar negeri memilih untuk tidak memasarkan produknya ke Indonesia,” tambah Johan.

Sementara itu, untuk merestrukturisasi pupuk, Ferry mengharapkan pemerintah sebaiknya segera mengambil alih urusan dari tangan Departemen Perdagangan menjadi satu pintu, yakni tanggung jawab Departemen Pertanian. Termasuk urusan distribusi.

Selain itu, masalah disparitas harga yang cukup tinggi antara harga pupuk ekspor dan dalam negeri menjadi daya tarik bagi produsen pupuk menjual produknya ke luar negeri. “Ini seharusnya menjadi catatan penting bagi pemerintah untuk mengambil langkah-langkah cepat dan nyata dalam persoalan pupuk,” jelasnya.

Kebutuhan nasional harus menjadi prioritas dalam menangani persoalan pupuk. Apalagi tak hanya menyangkut kebutuhan pokok tetapi juga menyangkut nasib jutaan petani di pelosok-pelosok tanah air. [E1/I4]

01 February 2008

Kita Sering Dibodohi

Anton Apriyantono (Dok. GATRA/Astadi Priyanto)Setiap kali gejolak harga komoditas pertanian mengguncang negeri ini, perhatian orang lantas berpaling pada Departemen Pertanian. Maklum, departemen yang kini dipimpin Anton Apriyantono itu memang punya tugas menumbuhkembangkan produk pertanian. Nah, kalau produk pertanian langka --atau kalaupun tersedia, ternyata itu produk impor-- orang pun bertanya: apa yang telah diperbuat Departemen Pertanian?

Berikut petikan percakapan wartawan Gatra Heru Pamuji, Syamsul Hidayat, dan pewarta foto Abdul Malik M.S.N. dengan Menteri Anton Apriyantono di rumah dinasnya, Jalan Widya Candra, Jakarta, Jumat malam lalu.

Sebagai negara agraris, mengapa kita malah menjadi pengimpor produk pertanian?
Anggapan itu muncul lantaran tidak melihat data dan tren dalam lima tahun hingga 10 tahun. Juga tidak membandingkan dengan negara lain. Seakan-akan kejadian itu hanya ada di Indonesia. Padahal, dengan perbandingan sederhana, dibandingkan dengan Korea Selatan, misalnya, Indonesia masih lebih baik.

Untuk impor kedelai, Korea Selatan dan Indonesia sama, yaitu sekitar 1,2 juta ton. Namun, untuk jagung, Korea Selatan mengimpor hingga 12 juta ton, sedangkan Indonesia hanya 400.000 ton. Pada 2007, Indonesia bisa dibilang sudah swasembada jagung.

Belakangan, muncul gejolak harga komoditas pertanian. Apa yang terjadi?
Sebetulnya karena ketakutan, kekhawatiran, aspek psikologis, yang disebabkan banyak bermunculan isu, sehingga harga naik. Sebagai contoh, dengan pengalaman 2006, meskipun produksi beras mencukupi, kita tetap mengimpor.

Praktek semacam itu tidak cuma dilakukan Indonesia. Cina pun melakukan hal demikian. Mereka tidak berani main-main dengan 1,3 milyar penduduk. Kalau terjadi kekurangan sedikit saja, bisa guncang. Yang penting, kan harga itu stabil, baik di tingkat konsumen maupun petani. Nah, tahun lalu harga bagus. Rata-rata di atas HPP. Jadi, tidak masalah impor demi stabilisasi.

Sekarang masalah harga tidak bisa dianggap soal supply and demand. Itu sudah terlalu klasik. Basisnya tetap supply and demand, price, tapi faktor lain banyak yang mempengaruhi harga. Sentimen pasar, situasi politik, juga mempengaruhi harga.

Apa upaya pemerintah untuk menjaga stabilitas harga pangan?
Bagaimanapun, ketahanan pangan tetap penting. Bahkan bukan cuma ketahanan, melainkan juga kemandirian pangan. Kalau cuma ketahanan pangan, kita bisa tercukupi dari impor. Kalau kemandirian pangan, sebagian besar harus produksi dalam negeri.

Untuk menghindari guncangan-guncangan, kecukupan menjadi suatu keharusan. Sulit bagi kami untuk menstabilkan harga kalau produksi dalam negeri jauh dari mencukupi. Contohnya beras, sekarang bisa membaik karena produksi dalam negeri bisa ditingkatkan.

Apa kendala mengaplikasikan hasil penelitian ke masyarakat?
Masih ada gap dari hasil penelitian untuk sampai ke masyarakat. Di Balikabi, Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, selalu dilakukan promosi dan gelar teknologi. Namun ternyata masyarakat lebih senang menggunakan kedelai yang secara lokal tersedia.

Ini dipicu juga oleh kendala umur simpan benih kedelai yang tidak lebih dari dua bulan. Sehingga belum ada swasta yang serius berbisnis di bidang benih kedelai. Di kalangan BUMN, cuma PTP XII yang menekuni bisnis kedelai.

Bagaimanapun, kita membutuhkan peran swasta yang mau menyediakan benih kedelai. Jadi, soal sosialisasi hasil-hasil riset memang menjadi masalah tersendiri. Butuh waktu lama untuk sampai ke masyarakat. Sosialisasi padi saja bisa sampai 10-15 tahun dari mulai ditemukannya varietas unggul baru. Ini memang memerlukan percepatan-percepatan agar lebih cepat lagi sampai ke masyarakat.

Caranya?
Ya, melalui penyuluhan, melalui BPPT-BPPT yang ada di setiap provinsi. Saya melihat, pergerakan di bawah ini yang menjadi titik lemah dalam pembangunan kita, terutama di bidang pertanian. Penyuluhan mulai kendur pada akhir 1980-an, baru kita bangkitkan kembali. Kalau jaringan di tingkat bawah ini sudah terbentuk dengan baik, aliran informasi akan mudah. Ini yang sedang kami bangun lagi. Yang diperlukan adalah kegiatan yang bisa sampai ke tingkat desa. Seorang penyuluh di satu desa yang mengajari petani dengan inovasi-inovasi teknologinya.

Pada zaman Orde Baru, kan strategi itu sudah dilakukan?
Makanya, kami menyebutnya revitalisasi. Sebetulnya, yang dilakukan Orde Baru pada Pelita III sudah pada arah yang benar. Namun, belum begitu kuat, sudah tergoda dan kemudian beralih ke hi-tech dan industri, sedangkan pertaniannya kendur.

Pada saat ini banyak terjadi bencana seperti banjir. Apakah itu berpengaruh pada daya dukung lahan?
Dibandingkan dengan luas lahan keseluruhan, lahan yang terkena banjir masih jauh lebih kecil. Sawah yang fuso 60.000 hektare, tapi luas seluruh lahan 12 juta hektare lebih. Secara kualitaif, banyak yang menganggap lahan sawah berkurang. Angkanya pun bervariasi, 40.000-100.000 per hektare per tahun. Tapi, jangan lupa, ada pula perluasan lahan untuk persawahan.

Perlu diberlakukan land reform?
Land reform agraria memang suatu keharusan. Tapi dalam arti bukan bagi-bagi tanah, melainkan mengusahkan tanah itu secara optimal. Kami sudah meminta Departemen Transmigrasi menyediakan lahan-lahan pertanian dan memindahkan penduduk berdasarkan program. Jadi, paradigma baru trasmigrasi itu bukan sekadar pemerataan penduduk, melainkan juga terkait dengan program. Misalnya program perluasan sawah, baru kemudian penduduk dipindahkan ke sana. Jadi, ditumbuhkan dulu kegiatan ekonominya.

Soal liberalisasi, bagaimana persiapan industri pangan kita?
Memang di dunia global yang saling bergantung ini tidak mudah membebaskan diri dari liberalisasi. Tinggal pilihan, kita ingin memanfaatkan atau dimanfaatkan. Cina saja, yang demikian tertutup, sekarang terbuka juga. Tidak ada yang bisa menghindar.

Liberalisasi, seperti WTO, kan tidak berarti kita memangkas semua tarif bea masuk. Ini kan pemahaman yang tidak utuh. Ada bond tarif yang diperkenankan. Mainkanlah ini. Kecuali free trade seperti ASEAN Free Trade. Itu memang tidak bisa dihindari. Kita bisa untung, bisa pula buntung. Lagi-lagi tergantung kita, bisa memanfaatkan atau justru dimanfaatkan.

Jangan lupa, ada pula trade off. Di satu sisi, kita mungkin kebanjiran produk hortikultura dari luar negeri. Tapi, di sisi lain, kita bisa mengirim CPO, kakao, kopi, dan teh. Tinggal hitung-hitungan. Kalau dilihat dari neraca, jauh lebih banyak ekspornya dibandingkan dengan impor.

Tetapi masyarakat lebih sering melihat produk-produk impor dalam bentuk "etalase" di supermarket modern.
Kalau dilihat secara keseluruhan, impor buah-buahan itu angkanya di bawah 5%-6%. Cuma, karena dipajang di depan mata, jadi seakan-akan besar. Persepsi memang seringkali mendominasi opini dibandingkan dengan data yang sesungguhnya. Yang dilihat orang itu, kan cuma di hypermarket seperti Carrefour.

Mengapa citra produk pangan Indonesia cenderung terpuruk di pasar global?
Ada beberapa alasan. Pertama, trader-trader Indonesia di bidang hortikultura masih kurang. Kedua, ada kendala di dalam negeri. Misalnya masalah transportasi yang cukup mahal. Itu karena banyak pungutan liar dan infrastruktur yang seringkali kurang menunjang.

Infrastruktur jalan sangat penitng bagi produk hortikultura yang mudah rusak. Di Thailand, misalnya, mereka punya jaringan pemasaran yang bagus dan ada subsidi transportasi dengan Thai Air Ways. Kita harus mengakui, produk hortikultura mereka unggul. Tapi, sorry, untuk perkebunan, Indonesialah yang unggul.

Bagaimana peran perbankan dalam pengembangan industri pertanian di Indonesia?
Perbankan kurang mendukung. Di Indonesia, bunga bank masih cukup tinggi. Sedangkan di luar negeri, misalnya Malaysia, dengan bunga lebih rendah, mereka bisa lebih agresif dalam berinvestasi. Jangan-jangan, dalam waktu dekat perkebunan sawit di Indonesia dikuasai pengusaha Malaysia. Mereka juga lari ke Vietnam untuk investasi padi. Luar biasa ekspansi mereka.

Ke depan, produk pangan apa saja yang rawan?
Beras, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi. Untuk produk ini, masih diusahakan untuk swasembada. Walapun sampai sekarang mencapai swasembada padi, jagung, untuk kedelai, gula, dan daging sapi belum. Untuk ketiga komoditas ini, perlu dilakukan upaya percepatan. Namun, lagi-lagi, kendalanya dari sisi perbankan. Mestinya, untuk sektor pertanian, bunganya lebih kecil dibandingkan dengan sektor lain. Di negara lain, banyak terdapat bank pertanian, seperti di Cina, Thailand, dan Prancis.

[Laporan Utama, Gatra Nomor 11 Beredar Kamis, 24 Januari 2008]

31 January 2008

KEMBALI KEDESA

Oleh : Prof Dr Mochammad Maksum 30/01/2008 05:36:17

MENARIK
sekali menyimak dua pernyataan Presiden SBY mengenai pangan, yang disampaikan dalam dua kesempatan berbeda. Pertama di Lampung awal 2008 yang menegaskan tentang swasembada dan stop impor pangan 2010. Namun pernyataan kedua yang disampaikan di depan pimpinan TNI (24/1) menyebut bahwa krisis pangan sekadar sebagai gejala global.
Jika ditilik tanpa seksama, kedua pernyataan itu seolah tidak terkait. Pertama adalah optimisme menghadapi banyak persoalan global. Namun yang kedua tampak sekali sebagai apatisme dan justru ‘melempar’ persoalan. Artinya, SBY seolah menganggap persoalan itu tidak terkait dengan persoalan domestik sama sekali. Padahal kedua pernyataan itu sesungguhnya amat terkait dan seharusnya dikaitkan sebagai satu kesatuan sikap pimpinan nasional. Gejala global yang menjadikan komoditas pangan melonjak harganya, tentu memiliki intensitas implikasi domestik negara manapun, secara beragam menurut mutu dan kinerja sistem ketahanan pangan domestiknya.
Bagi Indonesia, deraan gejala global ini menjadi berlipat ganda karena mutu dan kinerja sistem ketahanan pangan nasional kita selama ini dibuat semakin tergantung impor. Lihat saja, kasus gula, beras, kedelai dan lainnya. Itupun masih berbau aneka simalakama. Ketika pangan domestik langka, selalu impor menjadi pilihan paling mudah dilakukan.
Apa yang terjadi? Pada gilirannya, kebijakan yang tidak bijak ini hanya akan menurunkan gairah usaha tani. Akibat selanjutnya, domestic supply makin tipis dan impor makin menjadi pilihan dan banyak lagi dilakukan. Menjadi relevan sekali ketika optimisme sikap swasembada itu dibangun atas kesadaran akan rentannya ketahanan pangan domestik terhadap gejolak dunia.
Karenanya, sungguh mengkhawatirkan ketika kedua pernyataan di atas tidak dikaitkan. Karena bisa menimbulkan upaya-upaya solusi yang tidak relevan dengan persoalan zaman. Relasi timbal baik ini tampak jelas pada kisruh tahu-tempe.
Harus dikatakan jelas sekali, gonjang-ganjing tahu tempe ini akibat syahwat pejabat mupuk import dependency kedelai, terutama setelah Republik Indonesia diamputasi IMF tahun 1998. Dibius harga dunia yang murah dan kredit tanpa bunga selama 1999 - 2002. Akibatnya, potensi produksi yang tahun 1992 swasembada dengan produk 1,8 juta ton dilupakan dan tertutup birahi jangka pendek. Produksi nasional pun turun menjadi 620 ribu ton pada tahun 2007, setelah sebelumnya juga hanya 748.000 ribu ton dan 808 ribu ton. Untuk tahun 2007, guna memenuhi permintaan yang besarnya 1,9 ton, perlu mengimpor lebih dari 1,2 juta ton.
Tentu kita bisa bersilat lidah. Kisruh tahu tempe ini karena defisit 1,2 juta ton atau karena sekadar gejala global?
Rasanya, siapapun akan menyimpulkan dua-duanya berpengaruh. Tetapi dengan kadar pengaruh bobroknya kinerja produksi domestik yang lebih kuat. Apalagi kalau dikaitkan dengan perspektif kedaulatan pangan Republik Indonesia.
Optimisme memang seharusnya dibangun sebagai respons terhadap fenomena global dan melihatnya sebagai tantangan dan peluang. Dengan sikap demikian, maka upaya membangun optimisme itu bisa lebih terencana dan tidak reaktif seperti selama ini.
Pertama, mestinya bangsa ini sadar bahwa selama ini telah salah kiblat, telah lalai terhadap pertanian dan pedesaan yang hakikatnya adalah ‘berkah Ilahiyah’. Karena kita selalu bangga — dan pamer — menyebut diri sebagai negara agraris, maka harusnyalah kembali ke desa. Di sanalah, kodrat potensi agraris Republik Indonesia.
Kedua, untuk kembali ke desa, perubahan pola pikir dan segala kebijakan yang selama ini anti-agro harus dihapuskan. Sehingga akan menempatkan sektor agro secara adil. Bukan kemajuan yang dibutuhkan tetapi keadilan dan tidak lagi menjadikannya sebagai tumbal pembangunan.
Ketiga, tentu memerlukan konsistensi politik dan kebijakan. Bukan ketidakpastian dan bukan pula senandung ria: esuk dele sore tempe seperti yang selama ini dilakukan.
(Seperti dituturkan Guru Besar FTP UGM kepada Fadmi S)

08 January 2008

Dari www.fspi.or.id

Neoliberalisme Penyebab Pemanasan Global, Bangun Kedaulatan Rakyat Menuju Keadilan Sosial | Print | E-mail


Dampak dari pemanasan global telah mengakibatkan semakin intensifnya kerusakan alam dan ancaman bagi kemanusiaan. Namun pemanasan global bukanlah sebab, tetapi merupakan akibat. Pemanasan global lahir dari model pembangunan ekonomi yang berkarakter kapitalistik-neoliberal, atau sebagaimana para pendiri bangsa menyatakannya sebagai neokolonialisme-imperialisme.
Pangkal dari masalah ini adalah hasrat melakukan penguasaan dan penghisapan sumber-sumber ekonomi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asing lintas negara (TNCs). Korporasi-korporasi global memanfaatkan dukungan politik elit di negara-negara kaya dan lembaga-lembaga kreditor internasional menjadikan utang luar negeri sebagai instrumen utama untuk mengakumulasi kekayaan dan menghisap sumber-sumber penghidupan rakyat. Kini kekuasaan TNCs telah menaklukkan kekuatan ekonomi negara yang sesungguhnya diperuntukkan menegakkan kedaulatan dan kesejahteraan rakyat.

Di negara-negara miskin dan berkembang, perubahan iklim yang drastis menyebabkan terjadinya kekeringan, banjir dan badai yang menghancurkan lahan pertanian, peternakan, dan rumah-rumah. Petani terpaksa menyesuaikan penggunaan benih dan sistem produksi untuk menghadapi perubahan iklim. Banjir dan kekeringan juga menyebabkan kegagalan panen, yang pada akhirnya dapat berdampak pada meningkatnya angka kelaparan di dunia.

Dalam era pembangunan yang bercirikan kapitalistik-neoliberal saat ini, kegiatan industri, khususnya di sektor perkebunan, pertanian, dan pertambangan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar dan transnasional berkontribusi signifikan bagi pemanasan global dan penghancuran masyarakat, khususnya di wilayah pedesaan. Transportasi pangan antarbenua, produksi monokultur secara intensif, penggundulan hutan dan pembukaan lahan baru serta input kimia berlebihan sangat besar peranannya dalam melahirkan planet bumi yang semakin panas.

Di sisi lain, negara-negara industri maju seperti Amerika, Uni Eropa dan Australia terus memacu pertumbuhan ekonomi tanpa batas. Hal ini tentu membuat mereka menjadi penyumbang paling besar emisi karbondioksida di dunia. Laju industrialisasi yang menyerap kebutuhan energi yang sangat besar serta pola hidup boros yang dipraktekan, memperlihatkan bahwa negara-negara tersebut telah mempraktekan model pembangunan yang salah dan tidak adil. Yang akhirnya semakin memperburuk kondisi iklim pada tingkat global.

Medio Desember 2007, di Bali, pemimpin-pemimpin negara akan berkumpul untuk melahirkan Bali Mandate. Dan sudah dipastikan di bawah dominasi dan hegemoni neoliberalisme negara-negara industri maju, maka negara-negara industri maju akan ambil untung dan negara dunia ketiga akan dapat buntung. Dengan kata lain, keuntungan hanya di segelintir pihak belaka (negara-negara kapitalis-neoliberal, TNCs, lembaga kreditor internasional) sementara milyaran rakyat di seluruh dunia terus ditindas secara struktural. Dalam perspektif lingkungan, kondisi ini dinamakan ketidakadilan iklim.

Ketidakadilan iklim bisa diakhiri dengan azas tanggung jawab dan pengakuan atas praktek salah di masa lalu yang dilakukan negara-negara kapitalis-neoliberal. Tanggung jawab tersebut tidaklah cukup dengan menyediakan dana kompensasi bagi upaya rehabilitasi dan mitigasi perubahan iklim, sebagaimana saat ini ditawarkan melalui program REDD. Negara-negara industri maju harus mengakui kesalahan tersebut dengan memberikan penghapusan 100% utang luar negeri bagi negara-negara miskin dan berkembang tanpa syarat. Sebagai bentuk dukungan kongkret mempromosikan pembangunan yang adil, setara, mensejahterakan rakyat, serta menjunjung tinggi pelestarian lingkungan.

Maka sudah saatnya pemerintah negara-negara dunia ketiga (negeri-negeri terbelakang akibat praktek imperialisme baru) harus merapatkan barisan, bersatu dan menyatakan sikap bahwa tidak ada model pembangunan tunggal, yang selama ini dipaksakan. Rakyat di seluruh dunia harus melawan model pembangunan yang berkarakteristik kapitalistik-neoliberal seperti saat ini. Inisatif rakyat mengenai transformasi kapital harus dimajukan. Dengan meninggalkan praktek neoliberalisme memperburuk keadaan. Utang, intervensi, invasi dan rejim ekonomi-politik internasional (WTO, IMF, Bank Dunia, dll) harus segera disingkirkan dari model pembangunan yang mempromosikan keadilan, kesetaraan, pelestarian lingkungan dan penghormatan terhadap prinsip-prinsip hak asasi manusia.

Inisiasi rakyat dalam melawan segala bentuk kebijakan dan praktek neoliberal bisa dimulai dari praktek-praktek yang: (1) Berkeadilan sosial secara ekonomi-politik; (2) Berperspektif lingkungan; dan (3) Secara sosial-budaya memperhatikan kearifan lokal dan menghormati hak asasi manusia. Kebijakan Reformasi agraria dan reformasi sektor industri adalah contoh konkrit transformasi kapital oleh rakyat untuk melawan model pembangunan neoliberal yang menyebabkan kemiskinan dan kehancuran iklim global.

Saya hanyalah...............

Perkenalkan, saya Jusananda, seorang penyiar Radio yang saat ini
pekerjaan utamanya adalah Marketing disuatu perusahaan Handicraft
dengan pasar Export.
Sebelumnya sejak 1993, saya keliling Nusantara dan sejumlah negara
tetangga berkecimpung sebagai penjual Obat, Rumah, Motor, dan terakhir
di Astra International Mobil.
Namun sejak Gempa bumi melanda Yogyakarta Mei 2006 lalu saya
memutuskan mudik ke Jogjakarta untuk ikut membangun Yogyakarta,
sehingga saya memilih sebagai Penjual Handicraft secara Online ke
Manca Negara, agar bisa membantu saudara2 kita diBantul yang masih
menderita kesulitan ekonomi akibat gempa.
Dalam siaran radio saya sering mengajak pendengar untuk peduli dengan
pertanian, untyuk rajin bercocok tanam, dan sebisa mungkin
mengkampanyekan akan TERHORMATnya profesi PETANI dimata saya dibanding
profesi lain.
Kebetulan pula, belum lama ini saya ditawari oleh seorang pemerhati petani, untuk bergabung keliling Yogyakarta belajar bersama para petani untuk bisa mensejahterakan para
petani.
Karena banyaknya waktu luang saya, sayapun menerima tawaran tersebut.
Saya ingin mencari kontak para ketua kelompok tani
dikawasan Jogjakarta dan sekitarnya, Kedu, Magelang, Wonosobo,
Boyolali, Solo, Klaten, baik kelompok Tani Padi, Palawija, Sayuran,
maupun perkebunan.
Saya ingin belajar bersama, dan ingin mewujudkan Misi Mencerdaskan dan mensejahterakan Petani, agar PETANI tak dipandang sebelah mata, juga tidak lagi menjadi korban kebijakan
Pemerintah yang Pro Industrialisasi. ....melupakan Jati Diri Bangsa
sebagai Bangsa Agraris dan Bahari.
Jika ada diantara anda yang ingin belajar bersama, mohon berkenan
kontak saya lewat Email saya ini, milliskoe@yahoo. co.id
atau melalui
HP : 081392589769 dan Flexi : 0274-7877728

Salam sukses

JUSANANDA

07 January 2008

PETANI dalam wikipedia

Petani

Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.

Langsung ke: navigasi, cari

Petani adalah seseorang yang bergerak di bidang bisnis pertanian utamanya dengan cara melakukan pengelolaan tanah dengan tujuan untuk menumbuhkan dan memelihara tanaman (seperti padi, bunga, buah dan lain lain), dengan harapan untuk memperoleh hasil dari tanaman tersebut untuk di gunakan sendiri ataupun menjualnya kepada orang lain. Mereka juga dapat menyediakan bahan mentah bagi industri, seperti serealia untuk minuman beralkohol, buah untuk jus, dan wol atau flax untuk penenunan dan pembuatan-pakaian.

Dalam negara berkembang atau budaya pra-industri, kebanyakan petani melakukan agrikultur subsistence yang sederhana - sebuah pertanian organik sederhana dengan penanaman bergilir yang sederhana pula atau teknik lainnya untuk memaksimumkan hasil, menggunakan benih yang diselamatkan yang "asli" dari ecoregion.

Daftar isi

[sembunyikan]

[sunting] Organisasi Petani

[sunting] Petani terkenal

[sunting] Topik berhubungan

[sunting] Lihat juga

[sunting] Pranala luar