http://www.gatra.com/artikel.php?id=113575
Harga komoditas pangan dunia kian melangit, naik antara 75% dan 200%. Banyak pihak mengkhawatirkan krisis pangan menjelma menjadi krisis global terbesar abad ke-21. Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) mengabarkan, krisis pangan akan menimpa 36 negara di dunia, termasuk Indonesia. Meski dicap sebagai negeri agraris, Indonesia sama sekali tidak menikmati lonjakan harga komoditas pangan dunia. Yang terjadi justru rakyat negeri ini makin tertekan.
Maklum, sebagian besar petani Indonesia memiliki lahan kurang dari 0,25 hektare (rata-rata nasional 0,36 hektare, dengan jumlah petani 48% dari total penduduk). Proporsi terbesar, antara lain, adalah buruh tani yang tidak berlahan. Kelompok petani berlahan sempit dan buruh tani itu justru akan menderita, karena sekitar 60% pendapatan mereka dibelanjakan untuk pangan.
Harga gabah di Tanah Air justru jeblok pada saat panen raya. Bila semula bisa mencapai Rp 2.800 per kilogram, kini berada di kisaran Rp 1.800-Rp 1.900 per kilo. Karena itu, tim pasca-panen juga melakukan sosialisasi bahwa pemkab siap memborong dan menampung gabah petani dengan harga sesuai patokan pemerintah. Juga memberikan saran agar petani menjual dalam bentuk gabah.
Ketika harga beras di dunia sedang melangit, harga gabah di sentra-sentra penghasil padi di Indonesia malah anjlok. Seperti diberitakan di media seluruh jagat, stok beras dunia akan mencapai titik terendah, sehingga mendorong harga mencapai level tertinggi selama 20 tahun terakhir.
Kepincut oleh prospek komoditas pangan dunia yang kian mahal, para konglomerat pun ikut rajin bercocok tanam. Salim Group, misalnya, berancang-ancang melakukan ekspansi ke sektor perkebunan tebu di Nusa Tenggara Barat. Setelah mengeduk untung di bisnis sawit penghasil CPO, Salim berniat menanam duit di lahan tebu. Rencananya, konglomerasi yang dinakhodai Anthony Salim itu mendirikan pabrik gula dan membuka perkebunan tebu seluas 120.000 hektare di lahan berstatus area peruntukan lain.
Tak hanya Salim Group yang mengepakkan sayap di bisnis agro. Kelompok perusahaan besar seperti Grup Bakrie, Medco, dan Wilmar juga menjajaki industri pemanis itu. Tiga konglomerat papan atas itu berniat mengembangkan perkebunan tebu yang terintegrasi dengan pabrik gula dan etanol di Merauke, Papua. Diperkirakan, total investasinya di lahan seluas 300.000 hektare itu mencapai Rp 9 trilyun.
Berbeda dari Grup Bakrie dan Wilmar yang sudah lama bermain di sektor agrobisnis, Medco terbilang pendatang baru. Sekretaris Medco Holding, Widjajanto, mengungkap bahwa pihaknya berniat menanam tebu untuk bahan baku bioetanol pengganti bensin. Jadi, masih terkait dengan bisnis inti Medco di bidang energi. Hanya saja, kini mereka berniat masuk lebih dalam ke bagian hulu. "Medco sebenarnya sudah mengembangkan bioetanol berbahan baku tebu dan singkong dengan produksi 1.200 barel per hari di Lampung," ungkap Widjajanto.
Sebelumnya, Arifin Panigoro selaku pemilik Medco mengungkapkan, Medco Energy International akan bekerja sama dengan PT Petrogas, Brasil, untuk ekspansi bioetanol tebu dan singkong. Total dana yang disiapkan guna membangun pabrik dan perkebunan pemasok bahan bakunya mencapai US$ 350 juta.
Dirjen Perkebunan, Departemen Pertanian (Deptan), Achmad Manggabarani mengungkap, selain ketiga konglomerat itu, banyak pengusaha lokal yang bernafsu ikut menanam tebu di sejumlah daerah. Industrialisasi pertanian makin menguntungkan pemilik modal.
Heru Pamuji, Arif Koeshernawan (Yogyakarta), dan M. Nur Cholish Zaein (Surabaya)
[Laporan Utama, Gatra Nomor 21 Beredar Kamis, 3 April 2008]
Pupuk Organic Cair superMAX
02 April 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment