Pupuk Organic Cair superMAX

Pupuk Organic Cair superMAX
1 Liter untuk 1 Hektar lahan.

01 February 2008

Kita Sering Dibodohi

Anton Apriyantono (Dok. GATRA/Astadi Priyanto)Setiap kali gejolak harga komoditas pertanian mengguncang negeri ini, perhatian orang lantas berpaling pada Departemen Pertanian. Maklum, departemen yang kini dipimpin Anton Apriyantono itu memang punya tugas menumbuhkembangkan produk pertanian. Nah, kalau produk pertanian langka --atau kalaupun tersedia, ternyata itu produk impor-- orang pun bertanya: apa yang telah diperbuat Departemen Pertanian?

Berikut petikan percakapan wartawan Gatra Heru Pamuji, Syamsul Hidayat, dan pewarta foto Abdul Malik M.S.N. dengan Menteri Anton Apriyantono di rumah dinasnya, Jalan Widya Candra, Jakarta, Jumat malam lalu.

Sebagai negara agraris, mengapa kita malah menjadi pengimpor produk pertanian?
Anggapan itu muncul lantaran tidak melihat data dan tren dalam lima tahun hingga 10 tahun. Juga tidak membandingkan dengan negara lain. Seakan-akan kejadian itu hanya ada di Indonesia. Padahal, dengan perbandingan sederhana, dibandingkan dengan Korea Selatan, misalnya, Indonesia masih lebih baik.

Untuk impor kedelai, Korea Selatan dan Indonesia sama, yaitu sekitar 1,2 juta ton. Namun, untuk jagung, Korea Selatan mengimpor hingga 12 juta ton, sedangkan Indonesia hanya 400.000 ton. Pada 2007, Indonesia bisa dibilang sudah swasembada jagung.

Belakangan, muncul gejolak harga komoditas pertanian. Apa yang terjadi?
Sebetulnya karena ketakutan, kekhawatiran, aspek psikologis, yang disebabkan banyak bermunculan isu, sehingga harga naik. Sebagai contoh, dengan pengalaman 2006, meskipun produksi beras mencukupi, kita tetap mengimpor.

Praktek semacam itu tidak cuma dilakukan Indonesia. Cina pun melakukan hal demikian. Mereka tidak berani main-main dengan 1,3 milyar penduduk. Kalau terjadi kekurangan sedikit saja, bisa guncang. Yang penting, kan harga itu stabil, baik di tingkat konsumen maupun petani. Nah, tahun lalu harga bagus. Rata-rata di atas HPP. Jadi, tidak masalah impor demi stabilisasi.

Sekarang masalah harga tidak bisa dianggap soal supply and demand. Itu sudah terlalu klasik. Basisnya tetap supply and demand, price, tapi faktor lain banyak yang mempengaruhi harga. Sentimen pasar, situasi politik, juga mempengaruhi harga.

Apa upaya pemerintah untuk menjaga stabilitas harga pangan?
Bagaimanapun, ketahanan pangan tetap penting. Bahkan bukan cuma ketahanan, melainkan juga kemandirian pangan. Kalau cuma ketahanan pangan, kita bisa tercukupi dari impor. Kalau kemandirian pangan, sebagian besar harus produksi dalam negeri.

Untuk menghindari guncangan-guncangan, kecukupan menjadi suatu keharusan. Sulit bagi kami untuk menstabilkan harga kalau produksi dalam negeri jauh dari mencukupi. Contohnya beras, sekarang bisa membaik karena produksi dalam negeri bisa ditingkatkan.

Apa kendala mengaplikasikan hasil penelitian ke masyarakat?
Masih ada gap dari hasil penelitian untuk sampai ke masyarakat. Di Balikabi, Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, selalu dilakukan promosi dan gelar teknologi. Namun ternyata masyarakat lebih senang menggunakan kedelai yang secara lokal tersedia.

Ini dipicu juga oleh kendala umur simpan benih kedelai yang tidak lebih dari dua bulan. Sehingga belum ada swasta yang serius berbisnis di bidang benih kedelai. Di kalangan BUMN, cuma PTP XII yang menekuni bisnis kedelai.

Bagaimanapun, kita membutuhkan peran swasta yang mau menyediakan benih kedelai. Jadi, soal sosialisasi hasil-hasil riset memang menjadi masalah tersendiri. Butuh waktu lama untuk sampai ke masyarakat. Sosialisasi padi saja bisa sampai 10-15 tahun dari mulai ditemukannya varietas unggul baru. Ini memang memerlukan percepatan-percepatan agar lebih cepat lagi sampai ke masyarakat.

Caranya?
Ya, melalui penyuluhan, melalui BPPT-BPPT yang ada di setiap provinsi. Saya melihat, pergerakan di bawah ini yang menjadi titik lemah dalam pembangunan kita, terutama di bidang pertanian. Penyuluhan mulai kendur pada akhir 1980-an, baru kita bangkitkan kembali. Kalau jaringan di tingkat bawah ini sudah terbentuk dengan baik, aliran informasi akan mudah. Ini yang sedang kami bangun lagi. Yang diperlukan adalah kegiatan yang bisa sampai ke tingkat desa. Seorang penyuluh di satu desa yang mengajari petani dengan inovasi-inovasi teknologinya.

Pada zaman Orde Baru, kan strategi itu sudah dilakukan?
Makanya, kami menyebutnya revitalisasi. Sebetulnya, yang dilakukan Orde Baru pada Pelita III sudah pada arah yang benar. Namun, belum begitu kuat, sudah tergoda dan kemudian beralih ke hi-tech dan industri, sedangkan pertaniannya kendur.

Pada saat ini banyak terjadi bencana seperti banjir. Apakah itu berpengaruh pada daya dukung lahan?
Dibandingkan dengan luas lahan keseluruhan, lahan yang terkena banjir masih jauh lebih kecil. Sawah yang fuso 60.000 hektare, tapi luas seluruh lahan 12 juta hektare lebih. Secara kualitaif, banyak yang menganggap lahan sawah berkurang. Angkanya pun bervariasi, 40.000-100.000 per hektare per tahun. Tapi, jangan lupa, ada pula perluasan lahan untuk persawahan.

Perlu diberlakukan land reform?
Land reform agraria memang suatu keharusan. Tapi dalam arti bukan bagi-bagi tanah, melainkan mengusahkan tanah itu secara optimal. Kami sudah meminta Departemen Transmigrasi menyediakan lahan-lahan pertanian dan memindahkan penduduk berdasarkan program. Jadi, paradigma baru trasmigrasi itu bukan sekadar pemerataan penduduk, melainkan juga terkait dengan program. Misalnya program perluasan sawah, baru kemudian penduduk dipindahkan ke sana. Jadi, ditumbuhkan dulu kegiatan ekonominya.

Soal liberalisasi, bagaimana persiapan industri pangan kita?
Memang di dunia global yang saling bergantung ini tidak mudah membebaskan diri dari liberalisasi. Tinggal pilihan, kita ingin memanfaatkan atau dimanfaatkan. Cina saja, yang demikian tertutup, sekarang terbuka juga. Tidak ada yang bisa menghindar.

Liberalisasi, seperti WTO, kan tidak berarti kita memangkas semua tarif bea masuk. Ini kan pemahaman yang tidak utuh. Ada bond tarif yang diperkenankan. Mainkanlah ini. Kecuali free trade seperti ASEAN Free Trade. Itu memang tidak bisa dihindari. Kita bisa untung, bisa pula buntung. Lagi-lagi tergantung kita, bisa memanfaatkan atau justru dimanfaatkan.

Jangan lupa, ada pula trade off. Di satu sisi, kita mungkin kebanjiran produk hortikultura dari luar negeri. Tapi, di sisi lain, kita bisa mengirim CPO, kakao, kopi, dan teh. Tinggal hitung-hitungan. Kalau dilihat dari neraca, jauh lebih banyak ekspornya dibandingkan dengan impor.

Tetapi masyarakat lebih sering melihat produk-produk impor dalam bentuk "etalase" di supermarket modern.
Kalau dilihat secara keseluruhan, impor buah-buahan itu angkanya di bawah 5%-6%. Cuma, karena dipajang di depan mata, jadi seakan-akan besar. Persepsi memang seringkali mendominasi opini dibandingkan dengan data yang sesungguhnya. Yang dilihat orang itu, kan cuma di hypermarket seperti Carrefour.

Mengapa citra produk pangan Indonesia cenderung terpuruk di pasar global?
Ada beberapa alasan. Pertama, trader-trader Indonesia di bidang hortikultura masih kurang. Kedua, ada kendala di dalam negeri. Misalnya masalah transportasi yang cukup mahal. Itu karena banyak pungutan liar dan infrastruktur yang seringkali kurang menunjang.

Infrastruktur jalan sangat penitng bagi produk hortikultura yang mudah rusak. Di Thailand, misalnya, mereka punya jaringan pemasaran yang bagus dan ada subsidi transportasi dengan Thai Air Ways. Kita harus mengakui, produk hortikultura mereka unggul. Tapi, sorry, untuk perkebunan, Indonesialah yang unggul.

Bagaimana peran perbankan dalam pengembangan industri pertanian di Indonesia?
Perbankan kurang mendukung. Di Indonesia, bunga bank masih cukup tinggi. Sedangkan di luar negeri, misalnya Malaysia, dengan bunga lebih rendah, mereka bisa lebih agresif dalam berinvestasi. Jangan-jangan, dalam waktu dekat perkebunan sawit di Indonesia dikuasai pengusaha Malaysia. Mereka juga lari ke Vietnam untuk investasi padi. Luar biasa ekspansi mereka.

Ke depan, produk pangan apa saja yang rawan?
Beras, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi. Untuk produk ini, masih diusahakan untuk swasembada. Walapun sampai sekarang mencapai swasembada padi, jagung, untuk kedelai, gula, dan daging sapi belum. Untuk ketiga komoditas ini, perlu dilakukan upaya percepatan. Namun, lagi-lagi, kendalanya dari sisi perbankan. Mestinya, untuk sektor pertanian, bunganya lebih kecil dibandingkan dengan sektor lain. Di negara lain, banyak terdapat bank pertanian, seperti di Cina, Thailand, dan Prancis.

[Laporan Utama, Gatra Nomor 11 Beredar Kamis, 24 Januari 2008]

No comments: