Pupuk Organic Cair superMAX

Pupuk Organic Cair superMAX
1 Liter untuk 1 Hektar lahan.

31 January 2008

KEMBALI KEDESA

Oleh : Prof Dr Mochammad Maksum 30/01/2008 05:36:17

MENARIK
sekali menyimak dua pernyataan Presiden SBY mengenai pangan, yang disampaikan dalam dua kesempatan berbeda. Pertama di Lampung awal 2008 yang menegaskan tentang swasembada dan stop impor pangan 2010. Namun pernyataan kedua yang disampaikan di depan pimpinan TNI (24/1) menyebut bahwa krisis pangan sekadar sebagai gejala global.
Jika ditilik tanpa seksama, kedua pernyataan itu seolah tidak terkait. Pertama adalah optimisme menghadapi banyak persoalan global. Namun yang kedua tampak sekali sebagai apatisme dan justru ‘melempar’ persoalan. Artinya, SBY seolah menganggap persoalan itu tidak terkait dengan persoalan domestik sama sekali. Padahal kedua pernyataan itu sesungguhnya amat terkait dan seharusnya dikaitkan sebagai satu kesatuan sikap pimpinan nasional. Gejala global yang menjadikan komoditas pangan melonjak harganya, tentu memiliki intensitas implikasi domestik negara manapun, secara beragam menurut mutu dan kinerja sistem ketahanan pangan domestiknya.
Bagi Indonesia, deraan gejala global ini menjadi berlipat ganda karena mutu dan kinerja sistem ketahanan pangan nasional kita selama ini dibuat semakin tergantung impor. Lihat saja, kasus gula, beras, kedelai dan lainnya. Itupun masih berbau aneka simalakama. Ketika pangan domestik langka, selalu impor menjadi pilihan paling mudah dilakukan.
Apa yang terjadi? Pada gilirannya, kebijakan yang tidak bijak ini hanya akan menurunkan gairah usaha tani. Akibat selanjutnya, domestic supply makin tipis dan impor makin menjadi pilihan dan banyak lagi dilakukan. Menjadi relevan sekali ketika optimisme sikap swasembada itu dibangun atas kesadaran akan rentannya ketahanan pangan domestik terhadap gejolak dunia.
Karenanya, sungguh mengkhawatirkan ketika kedua pernyataan di atas tidak dikaitkan. Karena bisa menimbulkan upaya-upaya solusi yang tidak relevan dengan persoalan zaman. Relasi timbal baik ini tampak jelas pada kisruh tahu-tempe.
Harus dikatakan jelas sekali, gonjang-ganjing tahu tempe ini akibat syahwat pejabat mupuk import dependency kedelai, terutama setelah Republik Indonesia diamputasi IMF tahun 1998. Dibius harga dunia yang murah dan kredit tanpa bunga selama 1999 - 2002. Akibatnya, potensi produksi yang tahun 1992 swasembada dengan produk 1,8 juta ton dilupakan dan tertutup birahi jangka pendek. Produksi nasional pun turun menjadi 620 ribu ton pada tahun 2007, setelah sebelumnya juga hanya 748.000 ribu ton dan 808 ribu ton. Untuk tahun 2007, guna memenuhi permintaan yang besarnya 1,9 ton, perlu mengimpor lebih dari 1,2 juta ton.
Tentu kita bisa bersilat lidah. Kisruh tahu tempe ini karena defisit 1,2 juta ton atau karena sekadar gejala global?
Rasanya, siapapun akan menyimpulkan dua-duanya berpengaruh. Tetapi dengan kadar pengaruh bobroknya kinerja produksi domestik yang lebih kuat. Apalagi kalau dikaitkan dengan perspektif kedaulatan pangan Republik Indonesia.
Optimisme memang seharusnya dibangun sebagai respons terhadap fenomena global dan melihatnya sebagai tantangan dan peluang. Dengan sikap demikian, maka upaya membangun optimisme itu bisa lebih terencana dan tidak reaktif seperti selama ini.
Pertama, mestinya bangsa ini sadar bahwa selama ini telah salah kiblat, telah lalai terhadap pertanian dan pedesaan yang hakikatnya adalah ‘berkah Ilahiyah’. Karena kita selalu bangga — dan pamer — menyebut diri sebagai negara agraris, maka harusnyalah kembali ke desa. Di sanalah, kodrat potensi agraris Republik Indonesia.
Kedua, untuk kembali ke desa, perubahan pola pikir dan segala kebijakan yang selama ini anti-agro harus dihapuskan. Sehingga akan menempatkan sektor agro secara adil. Bukan kemajuan yang dibutuhkan tetapi keadilan dan tidak lagi menjadikannya sebagai tumbal pembangunan.
Ketiga, tentu memerlukan konsistensi politik dan kebijakan. Bukan ketidakpastian dan bukan pula senandung ria: esuk dele sore tempe seperti yang selama ini dilakukan.
(Seperti dituturkan Guru Besar FTP UGM kepada Fadmi S)

08 January 2008

Dari www.fspi.or.id

Neoliberalisme Penyebab Pemanasan Global, Bangun Kedaulatan Rakyat Menuju Keadilan Sosial | Print | E-mail


Dampak dari pemanasan global telah mengakibatkan semakin intensifnya kerusakan alam dan ancaman bagi kemanusiaan. Namun pemanasan global bukanlah sebab, tetapi merupakan akibat. Pemanasan global lahir dari model pembangunan ekonomi yang berkarakter kapitalistik-neoliberal, atau sebagaimana para pendiri bangsa menyatakannya sebagai neokolonialisme-imperialisme.
Pangkal dari masalah ini adalah hasrat melakukan penguasaan dan penghisapan sumber-sumber ekonomi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asing lintas negara (TNCs). Korporasi-korporasi global memanfaatkan dukungan politik elit di negara-negara kaya dan lembaga-lembaga kreditor internasional menjadikan utang luar negeri sebagai instrumen utama untuk mengakumulasi kekayaan dan menghisap sumber-sumber penghidupan rakyat. Kini kekuasaan TNCs telah menaklukkan kekuatan ekonomi negara yang sesungguhnya diperuntukkan menegakkan kedaulatan dan kesejahteraan rakyat.

Di negara-negara miskin dan berkembang, perubahan iklim yang drastis menyebabkan terjadinya kekeringan, banjir dan badai yang menghancurkan lahan pertanian, peternakan, dan rumah-rumah. Petani terpaksa menyesuaikan penggunaan benih dan sistem produksi untuk menghadapi perubahan iklim. Banjir dan kekeringan juga menyebabkan kegagalan panen, yang pada akhirnya dapat berdampak pada meningkatnya angka kelaparan di dunia.

Dalam era pembangunan yang bercirikan kapitalistik-neoliberal saat ini, kegiatan industri, khususnya di sektor perkebunan, pertanian, dan pertambangan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar dan transnasional berkontribusi signifikan bagi pemanasan global dan penghancuran masyarakat, khususnya di wilayah pedesaan. Transportasi pangan antarbenua, produksi monokultur secara intensif, penggundulan hutan dan pembukaan lahan baru serta input kimia berlebihan sangat besar peranannya dalam melahirkan planet bumi yang semakin panas.

Di sisi lain, negara-negara industri maju seperti Amerika, Uni Eropa dan Australia terus memacu pertumbuhan ekonomi tanpa batas. Hal ini tentu membuat mereka menjadi penyumbang paling besar emisi karbondioksida di dunia. Laju industrialisasi yang menyerap kebutuhan energi yang sangat besar serta pola hidup boros yang dipraktekan, memperlihatkan bahwa negara-negara tersebut telah mempraktekan model pembangunan yang salah dan tidak adil. Yang akhirnya semakin memperburuk kondisi iklim pada tingkat global.

Medio Desember 2007, di Bali, pemimpin-pemimpin negara akan berkumpul untuk melahirkan Bali Mandate. Dan sudah dipastikan di bawah dominasi dan hegemoni neoliberalisme negara-negara industri maju, maka negara-negara industri maju akan ambil untung dan negara dunia ketiga akan dapat buntung. Dengan kata lain, keuntungan hanya di segelintir pihak belaka (negara-negara kapitalis-neoliberal, TNCs, lembaga kreditor internasional) sementara milyaran rakyat di seluruh dunia terus ditindas secara struktural. Dalam perspektif lingkungan, kondisi ini dinamakan ketidakadilan iklim.

Ketidakadilan iklim bisa diakhiri dengan azas tanggung jawab dan pengakuan atas praktek salah di masa lalu yang dilakukan negara-negara kapitalis-neoliberal. Tanggung jawab tersebut tidaklah cukup dengan menyediakan dana kompensasi bagi upaya rehabilitasi dan mitigasi perubahan iklim, sebagaimana saat ini ditawarkan melalui program REDD. Negara-negara industri maju harus mengakui kesalahan tersebut dengan memberikan penghapusan 100% utang luar negeri bagi negara-negara miskin dan berkembang tanpa syarat. Sebagai bentuk dukungan kongkret mempromosikan pembangunan yang adil, setara, mensejahterakan rakyat, serta menjunjung tinggi pelestarian lingkungan.

Maka sudah saatnya pemerintah negara-negara dunia ketiga (negeri-negeri terbelakang akibat praktek imperialisme baru) harus merapatkan barisan, bersatu dan menyatakan sikap bahwa tidak ada model pembangunan tunggal, yang selama ini dipaksakan. Rakyat di seluruh dunia harus melawan model pembangunan yang berkarakteristik kapitalistik-neoliberal seperti saat ini. Inisatif rakyat mengenai transformasi kapital harus dimajukan. Dengan meninggalkan praktek neoliberalisme memperburuk keadaan. Utang, intervensi, invasi dan rejim ekonomi-politik internasional (WTO, IMF, Bank Dunia, dll) harus segera disingkirkan dari model pembangunan yang mempromosikan keadilan, kesetaraan, pelestarian lingkungan dan penghormatan terhadap prinsip-prinsip hak asasi manusia.

Inisiasi rakyat dalam melawan segala bentuk kebijakan dan praktek neoliberal bisa dimulai dari praktek-praktek yang: (1) Berkeadilan sosial secara ekonomi-politik; (2) Berperspektif lingkungan; dan (3) Secara sosial-budaya memperhatikan kearifan lokal dan menghormati hak asasi manusia. Kebijakan Reformasi agraria dan reformasi sektor industri adalah contoh konkrit transformasi kapital oleh rakyat untuk melawan model pembangunan neoliberal yang menyebabkan kemiskinan dan kehancuran iklim global.

Saya hanyalah...............

Perkenalkan, saya Jusananda, seorang penyiar Radio yang saat ini
pekerjaan utamanya adalah Marketing disuatu perusahaan Handicraft
dengan pasar Export.
Sebelumnya sejak 1993, saya keliling Nusantara dan sejumlah negara
tetangga berkecimpung sebagai penjual Obat, Rumah, Motor, dan terakhir
di Astra International Mobil.
Namun sejak Gempa bumi melanda Yogyakarta Mei 2006 lalu saya
memutuskan mudik ke Jogjakarta untuk ikut membangun Yogyakarta,
sehingga saya memilih sebagai Penjual Handicraft secara Online ke
Manca Negara, agar bisa membantu saudara2 kita diBantul yang masih
menderita kesulitan ekonomi akibat gempa.
Dalam siaran radio saya sering mengajak pendengar untuk peduli dengan
pertanian, untyuk rajin bercocok tanam, dan sebisa mungkin
mengkampanyekan akan TERHORMATnya profesi PETANI dimata saya dibanding
profesi lain.
Kebetulan pula, belum lama ini saya ditawari oleh seorang pemerhati petani, untuk bergabung keliling Yogyakarta belajar bersama para petani untuk bisa mensejahterakan para
petani.
Karena banyaknya waktu luang saya, sayapun menerima tawaran tersebut.
Saya ingin mencari kontak para ketua kelompok tani
dikawasan Jogjakarta dan sekitarnya, Kedu, Magelang, Wonosobo,
Boyolali, Solo, Klaten, baik kelompok Tani Padi, Palawija, Sayuran,
maupun perkebunan.
Saya ingin belajar bersama, dan ingin mewujudkan Misi Mencerdaskan dan mensejahterakan Petani, agar PETANI tak dipandang sebelah mata, juga tidak lagi menjadi korban kebijakan
Pemerintah yang Pro Industrialisasi. ....melupakan Jati Diri Bangsa
sebagai Bangsa Agraris dan Bahari.
Jika ada diantara anda yang ingin belajar bersama, mohon berkenan
kontak saya lewat Email saya ini, milliskoe@yahoo. co.id
atau melalui
HP : 081392589769 dan Flexi : 0274-7877728

Salam sukses

JUSANANDA

07 January 2008

PETANI dalam wikipedia

Petani

Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.

Langsung ke: navigasi, cari

Petani adalah seseorang yang bergerak di bidang bisnis pertanian utamanya dengan cara melakukan pengelolaan tanah dengan tujuan untuk menumbuhkan dan memelihara tanaman (seperti padi, bunga, buah dan lain lain), dengan harapan untuk memperoleh hasil dari tanaman tersebut untuk di gunakan sendiri ataupun menjualnya kepada orang lain. Mereka juga dapat menyediakan bahan mentah bagi industri, seperti serealia untuk minuman beralkohol, buah untuk jus, dan wol atau flax untuk penenunan dan pembuatan-pakaian.

Dalam negara berkembang atau budaya pra-industri, kebanyakan petani melakukan agrikultur subsistence yang sederhana - sebuah pertanian organik sederhana dengan penanaman bergilir yang sederhana pula atau teknik lainnya untuk memaksimumkan hasil, menggunakan benih yang diselamatkan yang "asli" dari ecoregion.

Daftar isi

[sembunyikan]

[sunting] Organisasi Petani

[sunting] Petani terkenal

[sunting] Topik berhubungan

[sunting] Lihat juga

[sunting] Pranala luar